April yang basah. Waktu lesap seperti sampah kering yang dibakar. Dua tahun sudah saya mengimpikan sebuah SIM, semenjak April dua tahun silam, persis sewaktu saya pertama kali memiliki sebuah sepeda motor. Bukan sebuah kebetulan di awal April yang gigil ini saya datang ke Kanit Lalu Lintas mengurus sebuah lisensi mengemudi. Sebuah lika-liku keinginan yang panjang seperti sulur tanaman menjalar berbiak kemana-mana, hingga di awal April ini baru bisa terwujudkan.
Mungkin engkau bertanya-tanya, hal apa gerangan yang membuat saya sampai terlambat dua tahun untuk mengurus sebuah SIM saja. Jawabannya sesederhana yang dipikirkan orang-orang yang tidak cukup beruntung dari segi finansial di negeri, mahal! Dua Ratus
Saya, sebagaimana engkau, percaya bahwa benang kusut birokrasi yang sering berbelit-belit tidak karuan, seperti sebuah labirin dengan cabang-cabang yang rumit, membuat banyak orang tidak betah berurusan lewat “jalan depan” prosedur di negara ini. Termasuk saya sendiri.
Tiba-tiba saya merasa berdosa sungguh setelah selembar Surat Izin Mengemudi saya kantongi. Ceritanya begini: Suatu hari saya datang ke Kanit Lalu Lintas di salah satu Polresta. Di loket pembayaran jelas-jelas tertera sejumlah biaya yang mesti dikeluarkan untuk pengurusan SIM gol. C, yaitu untuk pengurusan baru Rp 75.000,- dan untuk perpanjangan Rp 65.000,-. Setelah mendaftar dan membayarkan sejumlah uang yang dimaksud, saya tinggal melalui tahap berikutnya, yaitu tes teori dan praktek yang antriannya bukan main lamanya. Hal ini diperparah oleh sistim pelayanan banyak pintu dari satu loket ke liket lain.
Singkat cerita. Saya lulus ujian teori tapi tidak lulus ujian praktek. Sore datang bersama kelelahan yang memuncak. Saya putus asa sekali, karena setelah menghabiskan waktu seharian, sebuah SIM yang saya idam-idamkan tidak kunjung saya dapatkan, sementara istri saya tercinta yang ikut menemani semenjak pagi mulai ngomel tak karuan.
“Bapak tidak lulus ujian praktek, silakan bawa berkasnya ke Bripka anu” ujar seorang Bripka petugas ujian praktek. Tapi apa lacur, orang-orang yang bernasib sama dengan saya sudah lebih dulu datang ke ruangan Bripka yang dimaksud. Dari balik kaca transparan penyekat ruangan Bripka itu dengan ruang tunggu, saya lihat orang-orang mulai mengangsurkan lembaran uang Lima Puluh dan seratus Ribuan dengan sedikit tersembunyi dan canggung ke petugas itu.
Saya geram bukan main! Marah bukan main! Akhirnya saya hanya duduk diam di ruangan tunggu menunggu entah apa. Istri saya mulai kehilangan kesabaran. “Kasih saja Uang seratus Dua Puluh Ribu lagi sebagaimana yang dilakukan orang-orang itu!” ujarnya sengit. Saya masih tetap diam, sampai akhirnya seorang petugas lain berpangkat Aipda mendatangi ruang tunggu tempat saya duduk yang sudah mulai lengang bersama luruhnya sore yang remang. Saya gamang ketika petugas itu membujuk menawarkan sebuah “bantuan”. Sialan! Petugas yang satu ini rupanya memahami betul situasi saya yang terjepit, lelah dan putus asa. “Apa yang bapak tunggu, bapak
0 komentar:
Posting Komentar