Lelaki, Hujan dan Sepasang Mata Kejora Itu


Senja turun dengan sempurna. Hari mulai gelap. Jalanan basah. Keriap gerimis dari siang tadi masih betah menunggui bibir malam yang sebentar lagi menelan angkasa yang murung. Udara dingin mencucuk persendian. Untuk kesekian kalinya, ia merogoh kantong celana mengambil ponsel. Indikator baterai menunjukkan telepon genggam itu mulai low batt. Ia mendesah lagi. Pesan singkat yang ia tunggu-tunggu belum juga sampai. Ba’da ashar tadi ia telah mematikan semua komputer, mengemasi dan merapikan berkas-berkas pekerjaan yang bertumpuk dan mengunci semua pintu. Ia pegawai yang terakhir berada di kantor sore ini. Gerimis menderas. Kendaraan lewat satu-satu. Jalanan lengang.

Azan magrib sedari tadi berkumandang. Lelaki itu masih termangu di selasar depan kantor tempatnya bekerja. Murung dan masygul. di mana ia sekarang? Adakah ia baik-baik saja? Kenapa sms yang kukirim belum juga ia balas? Ada apa? serentet pertanyaan bergema menyesaki dadanya. Berkali-kali ia hubungi nomor ponsel yang sama dari siang tadi. Dari seberang sana yang terdengar hanya tuut..tuut..tuut. selebihnya, sepi.

Rencananya aku mau pulang hari ini. kalau sudah sampai, nanti kukabari. Beberapa baris pesan singkat itu telah berkali-kali ia baca seolah mencoba menemukan kalimat-kalimat lain yang dapat ia tangkap dari pesan itu. Bolehkah kutunggu engkau? pesan balasan yang ia kirim beberapa saat kemudian menggantung kosong di udara. Tak ada jawaban. Tak ada balasan apapun.

***

Semenjak beberapa bulan yang lalu, ratusan kilometer jarak telah menjauhkannya dari perempuan itu: pemilik sepasang mata kejora yang selalu menghantui malam-malam insomnia-nya. Perempuan itu pergi melanjutkan studinya ke sebuah kota yang jauh. Setelah perempuan itu pergi, ia merasa hatinya tinggal separoh, seperti bulan hari kelima. Yang separohnya lagi kosong melompong dan gelap.

“Mengapa abang begitu menyukai hujan?” tanya perempuan itu pada suatu sore, saat mata mereka terpaku pada ritmis hujan mencium aspal yang dingin.

“Entahlah.. Mungkin karena setiap kali hujan aku selalu teringat padamu”.

“Apa yang perlu abang pertahankan dari mengingatku?”, kejarnya. Lelaki itu diam. Kebisuan menerkam. Akhirnya ia menjawab,

“Tidak banyak. Seperti langit malam, engkau membintangi angkasa yang jauh itu. Apa yang lebih sempurna dari langit malam selain kerlip bintang?”

“Aahhh..”, Perempuan itu mendesah dalam kerumitan yang kental.

“Dunia dan status kita sekarang memang telah berbeda. Tapi bagaimana aku mengabaikan atau pura-pura mengabaikan panggilan ingin hatiku padamu? Apa yang telah kau rogoh dan bawa pergi dari dadaku tak pernah ada yang mampu menggantikannya. Aku tidak munafik dan mengingkari bahwa setiap bersamamu aku selalu menemukan kegembiraan dan kebahagiaan yang ganjil mendesak dadaku. Hal yang tak pernah kurasakan dengan perempuan manapun, kecuali denganmu. Bagaimana aku harus melupakanmu? Adakah kau menyarankan padaku sebuah cara?”

“Jangan tanyakan bagaimana caranya, karena aku juga telah kehilangan cara melupakanmu. Bagaimana aku mesti menolakmu dari ingatanku. begitu banyak monumen yang telah kita bangun di tengah kepungan nyeri dan ketidak-mungkinan hubungan ini, Bang”. Gerimis mulai berguguran dari matanya. Senja semakin gigil.

Percakapan-percakapan seperti itu, kilasan-kilasan pertemuan itu, terus bergema di ruang hujan, di dalam bayang-bayang ingatannya yang suram. Malam mulai menanjak saat ia kembali tersadar dari lamunan. Dari mushala seberang jalan kembali terdengar suara azan. sudah Isya, batinnya. Kenapa ia belum juga sampai? Gerimis kembali deras.

Mendadak ponselnya berdering. Buru-buru ia merogoh saku. Di layar ponsel, sebuah pesan singkat: Kak, sekarang dimana? Masih di kantor? Kapan pulang? Si kecil dari tadi rewel terus. Ia tertegun. Dadanya berdesir. Ngilu.

***

Sepanjang jalan di atas bus yang ditumpanginya ponselnya terus berdering. Bayangan lelaki itu semakin meruapi ingatannya. Dari siang tadi, sebelum berangkat sampai sekarang, panggilan dari nomor lelaki itu tidak ia jawab. Pesannya pun tidak ia balas. Ia bimbang. Teramat bimbang. Apa yang mesti dikatakannya. bolehkah kutunggu engkau?, pesan itu berulangkali ia baca. Betapa ingin ia katakan Akupun menunggu-nunggu untuk kau tunggu bersama hujan, Bang. Tapi kalimat itu tak kunjung ia ketikkan di layar SMS. Sepanjang jalan, hujan turun tanpa henti. Di ruangnya, ia lihat lagi kilasan-kilasan peristiwa masa lalu yang pernah dilaluinya  dengan lelaki itu.

Lelaki itu datang sebagai seorang idola yang diam-diam ia kagumi. Saban hari, pesona yang entah dari lelaki itu plus perhatian-perhatiannya yang hangat dan menenangkan, mulai mencuri sesuatu yang berpendar lain di sudut dadanya yang mulai mekar. Lelaki itu datang ke dalam hidupnya sebagai seorang guru muda yang enerjik. Dan tangan takdir menduduk-maniskannya di bangku paling depan sebagai murid lelaki itu.

Entah bagaimana mulanya, pertemuan-pertemuan intens sewaktu proses belajar-mengajar berlangsung, konsultasi-konsultasi di ruang konseling ketika prestasinya sedikit menurun, kegiatan-kegiatan ekskul yang ia ikuti dan lelaki yang semula ia sapa ‘Pak’ itu terlibat sebagai pembimbing, kekaguman demi kekaguman pada sosok lelaki muda itu semakin tebal dan meminang sesuatu yang lain di sudut hatinya.

Genap sudah dua tahun mengajar, ‘Pak Guru’ idolanya itu mendadak memutuskan untuk menikah. Padahal usianya masih cukup muda untuk misalnya menikmati masa lajang beberapa tahun lagi, pikirnya. Semenjak saat itu, Mendung itu mulai datang bergulung, bergelayut di ruang matanya, tak mau pergi. Sesekali mendung itu meniriskan hujan maupun gerimis. Seperti malam ini. Sepanjang jalan pada kepulangannya kini.

***

Jam dinding yang tersampir letih di dinding ruangan tamu telah menunjukkan pukul 21.36 saat ia tiba di rumah. Perempuan itu menyambutnya penuh kasih. Dengan telaten ia membantu membukakan baju dan menanggalkan kaus kakinya lalu membawakan sebaskom kecil air hangat untuk merendam kaki. Setelah itu ia sibuk menyiapkan makan malam serta segelas besar susu. Wajah teduh dan penyabar itu kembali memercikkan ngilu di dadanya. Wajah yang berbinar bahagia saat ia datang mengajukan lamaran tahun lalu.

“agak sibuk tadi di kantor, sehingga telat pulang. Maaf telah membuatmu jenuh menunggu”

“Tidak apa-apa, Kak. Saya juga belum tidur. Maafkan kalau sms saya mengagetkan kakak. Saya tadi bingung karena si kecil mewek terus”

Ia bergegas berjalan ke kamar dan melongok ke dalam ayunan bayi sambil menyibak kelambunya. Sebentuk wajah mungil tanpa dosa tertidur pulas. Hatinya kembali tersayat.

“Sssst...Mari kita makan. Nanti lauknya dingin”, bisik perempuan penyabar itu halus, sambil menariknya ke luar kamar menuju meja makan.

“Bagaimana kerjaan di kantor? Baik dan lancar saja ‘kan, Kak?”, tanya perempuan itu memecah suara denting sendok beradu dengan piring.

“Hmmm, lumayan”, sahutnya sekenanya sambil menyendok lauk ke piringnya. Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan.

Selesai makan, ia bergegas berwudhu’, kemudian mengerjakan shalat isya sekaligus melunasi hutang shalat magrib tadi. Usai shalat, ia berdoa singkat untuk kebaikan apa-apa yang datang dan pergi dari hidupnya, juga untuk perempuan bermata kejora itu, yang sekarang entah sudah sampai di mana. Sebelum pulang tadi, untuk terkhir kalinya sebelum mati kehabisan daya, ponselnya berdering. Masih sempat ia baca pesan murung itu. Pulanglah, bang. Maafkan aku untuk penantian yang meresahkan abang. Mungkin takdir tidak memperkenankan kita untuk ketemu kali ini.

***

Desember datang menyimpan hujan dalam jubahnya yang sendu. Orang-orang melintas gegas menghindari kuyup. Jalanan lengang. Matahari seringkali sembunyi. Senja cepat sekali tiba. Angkasa terlihat abu-abu. Seekor tikus mengais-ngais sesuatu di ujung selokan yang tersumbat. Burung-burung enggan melintasi cuaca yang dingin dan lebih memilih mendekam disarangnya yang hangat.

Kafe itu masih termangu bisu menunggui senja. Alunan lirik November Rain-nya Scorpion terdengar letih. Pengunjung kafe hanya beberapa. Di sudut kafe, sepasang mata kejora itu menatap kosong ke arah jalanan. Di seberang jalan seorang bocah penjaja koran menggigil di emperan sebuah toko sambil memandangi rintik hujan yang berkejaran di aspal.

Untuk kesekian kalinya lelaki itu kembali melirik pemilik sepasang mata kejora yang duduk di sebelahnya. Kebisuan menggantung di udara. Ia kelihatan sedikit lebih kurus, batinnya masygul. Ia tahu, segalanya telah terlambat. Semestinya tidak ada yang perlu ia sesali. Agustus tahun lalu ia telah memutuskan untuk menyudahi masa lajangnya dan mematahkan tunas-tunas asing yang menumbuhi dadanya. Ia sadar, kedekatan-kedekatan intens dan pesona tatapan mata kejora itu telah membuatnya jatuh hati pada gadis itu. Tentunya hal itu tidak boleh dibiarkan. Ia tidak tahu bahwa debar yang membunga di hatinya juga telah membungai hati seorang gadis remaja yang kini kelihatan jauh lebih matang dan dewasa dari usia sebenarnya. Kematangan yang gegas disesah pilu dan harapan patah.

Ia telah memilih menikahi seorang gadis lain yang ditawarkan orang tuanya. Dengan begitu, ia telah menyelamatkan integritasnya sebagai seorang guru, pikirnya. Tekadnya bulat sudah. Ia harus melupakan ‘kebodohan’ itu, mengabaikan rasa perih itu. Tapi apa lacur, setelah menikah tunas-tunas itu tidak lantas mati, malah semakin berbiak subur membelukari sebentuk sepi di sudut batinnya. Setelah menikah, diam-diam ia masih sering disergap kerinduan ganjil yang tak pernah terlunasi pada pemilik sepasang mata bintang itu.

Empat bulan setelah menikah rahasia dua hati itu akhirnya terkuak. Berawal dari sebuah kiriman yang ia ikuti di dinding facebook gadis itu. “seorang wanita berdoa pada tuhannya: Tuhan beri aku ketabahan untuk terus mencintai orang yang tak ‘kan pernah kumiliki. Beberapa komentar dan tanggapan atas kiriman itu memperjelas sesuatu yang mulai mencari bentuk. Lamat-lamat gejolak itu kembali kumat. Debur itu kembali menyergap. Ia merasa tamat.

Setelah berpikir masak-masak selama beberapa minggu, akhirnya ia putuskan untuk mengajukan surat pengunduran diri dari sekolah itu. Beruntung, akhirnya ia diterima sebagai karyawan di kantor tempatnya sekarang bekerja. Tapi apa lacur, akhirnya pernyataan bercampur isak itu ia terima dari ujung telepon.

“Kenapa Bapak, mengundurkan diri? Tidak tahukah Bapak, bahwa kepergian Bapak bakal membuat saya sakit? Salahkah ketika saya tidak berharap lebih untuk Bapak pilih sebagai seorang yang istimewa di hati Bapak, bukan sebagai seorang murid, tapi sebagai seorang Perempuan? Ketika bapak menikah, hati saya kandas, tapi saya masih bisa terima, karena diam-diam saya masih bisa melihat dan mengagumi Bapak tiap hari sambil terus berharap suatu hari nanti mimpi ini akan terwujud. Tapi sekarang, kenapa bapak lengkapkan harapan patah ini dengan sebuah kepergian? Kenapa?”. Jawaban jujur yang ia sampaikan mulai memantik api dan akhirnya membakar mereka tanpa sisa.

***

“Terima kasih telah Abang tampung segenap kepedihan ini, telah abang beri sedikit kesempatan menikmati kebahagiaan dengan memanggil ‘Abang’ padamu. Juga untuk pertemuan-pertemuan melepas senja ke barat sana. Terima kasih telah memberiku tempat untuk Abang kenang di ruang hujan. Apakah aku bahagia dengan semua ini? Ya, aku teramat bahagia telah menjadi racun di rumah tangga abang yang akan membunuh istrimu pelan-pelan. Lalu, setiap racun mesti disingkirkan jauh-jauh, bukan? Maka akupun bahagia untuk menyingkir sejauh-jauhnya dari hidupmu kini, Bang. Bukan karena aku tak lagi berharap, tapi ketidakmungkinan itu semakin mengangakan jurang lebar dan dalam antara kita, bukan?”

Lelaki itu masih terperangkap kebisuan. Jeruk panas yang mereka pesan mulai dingin. Batinnya berkecamuk hebat. Aku bersalah telah memberimu harap dan menghempaskanmu ke sumur penantian tanpa dasar, bisik hatinya miris. Aku yang telah memberimu racun untuk kau reguk dan aku tak tahu akan menebus kesalahan ini dengan apa. kalimat demi kalimat itu tak kunjung meluncur keluar melalui lidahnya yang tiba-tiba terasa kelu. Teramat kelu.

“Nanti malam aku berangkat. Jangan menungguku lagi setelah ini, Bang. Desember kali ini bakal pergi membawa hujan dan gerimis, juga diriku. Aku tidak tahu setelah ini apakah kita akan bertemu lagi atau tidak. Aku tahu ini sangat berat untuk kita. Tapi, bukankah setiap kali hujan datang bertandang kita bakal berteduh dan berumah di hati masing-masing. Aku pamit, Bang. Maafkan aku”

Hujan mulai reda. Tinggal gerimis. Lelaki itu masih mematung sendirian di meja itu. Matanya terasa panas dan pandangannya mengabur. Betapa ingin ia mengejar dan berteriak melarang perempuan itu pergi, tapi tak sepatah kata pun mampu ia keluarkan. persendiannya serasa dilolosi. Tamat sudah. Seperti sebuah gelas terhempas, ia remuk. Tanpa sisa. Di seberang jalan, pemilik sepasang mata kejora itu berjalan terus ke utara tanpa menoleh lagi. Hujan tumpah ruah dari matanya. Setelah agak jauh, ia merogoh tas, mengambil ponsel, membuka folder konsep, menginput sebuah nomor kontak dari phonebooknya. Gemetar jempolnya memencet keypad. Message send, notifikasi itu terlihat sekilas sebelum akhirnya ia membenamkan ponselnya ke dalam tas kembali.

Di seberang sana, seorang perempuan penyabar berwajah teduh membuka pesan itu. Kak, maafkan aku untuk penghabisan kali. Telah kukatakan apa yang seharusnya kukatakan. Aku pergi dan tidak akan pernah kembali. Janjiku telah kupenuhi. Semoga kakak bahagia. Aku ikut bahagia untuk kakak. Salam. Ia terisak. Dadanya terasa nyeri. Tiba-tiba ia merasa menjadi orang terkejam di dunia. Dua hati itu terpaksa gelandangan mengejar kesepiannya masing-masing karena dipaksa berpisah oleh kedatangannya di hidup lelaki itu. Diam-diam Ia tahu, lelaki yang teramat ia cintai telah menyerahkan hatinya untuk dirampas-pergi gadis itu.

Beberapa hari yang lalu, di pertemuannya yang kesekian dengan gadis yang mulai menarik simpati dan kekagumannya atas cintanya yang tak lekang pada suaminya. Ia telah menyatakan dengan sungguh-sungguh keikhlasannya untuk ditinggal-ceraikan suaminya. Ia merasa tidak berhak menjadi istri dari lelaki yang bertahun dicintai dan juga mencintai pemilik sepasang mata kejora itu. Tapi gadis itu telah memutuskan sebaliknya. Tangisnya tumpah tak terbendung. Di luar, gerimis perlahan mulai teduh dan senja segera tenggelam.


Lasi, Oktober-Desember 2011, Akhyar Fuadi
Sebuah cerita kecil untuk Tasurrun Nazirin
 
LASI Nagaritude | Lasi Tuo | Lasi Mudo | Pasanehan| About Us | Contact Us

Copyright © 2009 jalan kata |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.