Telegram dini hari

:mengenang hari jadi

waktu yang melayang ringan dan pelan koma
masih saja meminum usia tersia titik

seperti sebuah telegram, subuh berdenyutan
menggamangi usia menggarami serpih
tiap luka

sesubuh ini, aku masih saja ingin mengaji
setiap bilik diri yang terkunci
seperti sebuah telegram
dengan sebuah pesan, masih saja kutunggui
setiap sunyi yang bersinggahan
di landai masa lalu di tepi
terjal jurang hari esok

apakah setiap darah mesti tumpah koma
untuk mengerami buah luka koma
dan setiap kelahiran memeperdekat subuh berikutnya
pada kematian
pada kematian
titik


Lasi, April 2009

Minta Tolong

April yang basah. Waktu lesap seperti sampah kering yang dibakar. Dua tahun sudah saya mengimpikan sebuah SIM, semenjak April dua tahun silam, persis sewaktu saya pertama kali memiliki sebuah sepeda motor. Bukan sebuah kebetulan di awal April yang gigil ini saya datang ke Kanit Lalu Lintas mengurus sebuah lisensi mengemudi. Sebuah lika-liku keinginan yang panjang seperti sulur tanaman menjalar berbiak kemana-mana, hingga di awal April ini baru bisa terwujudkan.


Mungkin engkau bertanya-tanya, hal apa gerangan yang membuat saya sampai terlambat dua tahun untuk mengurus sebuah SIM saja. Jawabannya sesederhana yang dipikirkan orang-orang yang tidak cukup beruntung dari segi finansial di negeri, mahal! Dua Ratus Lima Belas Ribu Rupiah! Sebuah harga yang tidak cukup terjangkau oleh banyak orang, (termasuk saya. Bukan karena tidak cukup uang untuk itu, tapi lebih karena standar awal yang ditetapkan dalam pengurusan SIM C adalah Rp 75.000,-. Tiba-tiba melonjak menjadi Rp 215.000,-) di negara bekas penjajahan kolonial Belanda yang sampai hari ini masih terjajah oleh kemiskinan secara struktural dan kultural. Kemiskinan yang sudah menjadi sebuah sistim kehidupan dan ketidakberuntungan kultur secara turun-temurun di banyak keluarga, karena ketidakmampuan merobah manajemen hidup yang terus bergerak maju.


Saya, sebagaimana engkau, percaya bahwa benang kusut birokrasi yang sering berbelit-belit tidak karuan, seperti sebuah labirin dengan cabang-cabang yang rumit, membuat banyak orang tidak betah berurusan lewat “jalan depan” prosedur di negara ini. Termasuk saya sendiri.


Tiba-tiba saya merasa berdosa sungguh setelah selembar Surat Izin Mengemudi saya kantongi. Ceritanya begini: Suatu hari saya datang ke Kanit Lalu Lintas di salah satu Polresta. Di loket pembayaran jelas-jelas tertera sejumlah biaya yang mesti dikeluarkan untuk pengurusan SIM gol. C, yaitu untuk pengurusan baru Rp 75.000,- dan untuk perpanjangan Rp 65.000,-. Setelah mendaftar dan membayarkan sejumlah uang yang dimaksud, saya tinggal melalui tahap berikutnya, yaitu tes teori dan praktek yang antriannya bukan main lamanya. Hal ini diperparah oleh sistim pelayanan banyak pintu dari satu loket ke liket lain.

Singkat cerita. Saya lulus ujian teori tapi tidak lulus ujian praktek. Sore datang bersama kelelahan yang memuncak. Saya putus asa sekali, karena setelah menghabiskan waktu seharian, sebuah SIM yang saya idam-idamkan tidak kunjung saya dapatkan, sementara istri saya tercinta yang ikut menemani semenjak pagi mulai ngomel tak karuan.


“Bapak tidak lulus ujian praktek, silakan bawa berkasnya ke Bripka anu” ujar seorang Bripka petugas ujian praktek. Tapi apa lacur, orang-orang yang bernasib sama dengan saya sudah lebih dulu datang ke ruangan Bripka yang dimaksud. Dari balik kaca transparan penyekat ruangan Bripka itu dengan ruang tunggu, saya lihat orang-orang mulai mengangsurkan lembaran uang Lima Puluh dan seratus Ribuan dengan sedikit tersembunyi dan canggung ke petugas itu.


Saya geram bukan main! Marah bukan main! Akhirnya saya hanya duduk diam di ruangan tunggu menunggu entah apa. Istri saya mulai kehilangan kesabaran. “Kasih saja Uang seratus Dua Puluh Ribu lagi sebagaimana yang dilakukan orang-orang itu!” ujarnya sengit. Saya masih tetap diam, sampai akhirnya seorang petugas lain berpangkat Aipda mendatangi ruang tunggu tempat saya duduk yang sudah mulai lengang bersama luruhnya sore yang remang. Saya gamang ketika petugas itu membujuk menawarkan sebuah “bantuan”. Sialan! Petugas yang satu ini rupanya memahami betul situasi saya yang terjepit, lelah dan putus asa. “Apa yang bapak tunggu, bapak kan tidak lulus tes praktek. Bapak datang saja lagi minggu depan untuk melakukan tes ulang, atau kami bisa sedikit membantu agar bapak bisa mendapatkan SIM hari ini, tapi, ya itu…”ujarnya lamat. Saya tamat!


Akhirnya di sore yang mulai gerimis di awal April itu, saya pulang dengan mengantongi sebuah SIM C dengan perasaan tak menentu: merasa bersalah, sedih dan geram! Saya seorang tenaga pengajar di sebuah pondok pesantren, mantan santri pula. Tiba-tiba terngiang dalam kepala saya ucapan salah seorang guru yang paling saya hormati: “Rasulullah bersabda ‘Arraasyi wal murtasyi fin naar”. Maafkan saya duhai Rasulullah, maafkan saya, saya menyesal, saya merasa berdosa betul, karena saya telah ikut membantu menyuburkan sistim percaloan, pungli dan suap-menyuap di negeri yang sudah babak belur ini. Maafkan saya…(April 2010)
 
LASI Nagaritude | Lasi Tuo | Lasi Mudo | Pasanehan| About Us | Contact Us

Copyright © 2009 jalan kata |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.