Hijrah dan Tiga Pilar

Pada hari senin, 20 September 622 atau 12 Rabiul Awal, dua orang sahabat itu, Nabi yang mulia dan Abu Bakar Asshiddiq, resmi meninggalkan tanah kelahiran mereka, Makkah, pada suatu malam dimana gerombolan pengejar dilenakan oleh Allah dalam buaian mimpi. Keduanya pergi diam-diam setelah sebelumnya para muhajirin beserta sanak famili mereka berangkat duluan. Peristiwa paling bersejarah ini terjadi 13 tahun kemudian dari saat Nabi pertama kali menerima wahyu di Hira’.

Ada kejadian penting dari yang dicatatkan sejarah pada malam itu, yaitu: Keberanian, kecintaan dan kesetiaan seorang ‘Ali Bin Abi Thalib, Karramallahu Wajhah, menggantikan nabi di tempat tidurnya. Saya berandai-andai: andai saja para pembunuh itu tergesa-gesa menamatkan riwayat orang yang tidur di tikar nabi malam itu, maka darah yang pertama tumpah adalah darah ‘Ali, sebagai tumbal atas keberanian, kecintaan dan kesetiaannya.

Di zaman kita, tiga pilar tersebut: Keberanian, Kecintaan dan Kesetiaan mengalami penggerusan yang dalam dihanyutkan pelbagai kepentingan, intrik dan kegombalan. Keberanian menyuarakan sesuatu hari ini tidak terlepas dari sejauh mana embrio-embrio kepentingan bisa ditumbuh-suburkan. Akhirnya, corong apapun yang dipakai sebagai pengeras suara untuk menyuarakan sesuatu, akan mengeluarkan suara sember dan koor ganjil. Disaat pencitraan-pencitraan adalah solusi alternatif untuk membungkus-bungkus sesuatu yang busuk, kita membutuhkan keberanian menebalkan muka untuk bersuara dan juga membutuhkan corong pengeras untuk itu.

‘Ali, dalam sejarah kehidupannya, adalah orang paling zuhud di zamannya. Peristiwa di malam hijrah tersebut menggenapkan bukti Keberanian ‘Ali. Sebuah keberanian yang tidak digombalkan kemana-mana sebagai sebuah laku heroik dan patriotik. Sebagai pribadi yang zuhud, ia, yang telah sampai pada maqam Firaq dalam istlah kitab Hikam, amat jauh dari pencitraan yang digembar-gemborkan.

Sebuah analisa sederhana: Keberanian yang disuarakan bukankah merupakan sisi lain dari ketakutan. Ketakutan untuk tidak didengar dan diperhatikan. Lebih jauh, zaman ini membutuhkan orang-orang berani seperti ‘Ali. Keberanian bertindak dan mengambil sebuah keputusan tepat dalam menghadapi satu situasi tertentu, dan itu disembunyikan rapat-rapat.

Keberanian sebagai dasar berpijak pertama dalam melakukan sebuah tindakan, tentunya memerlukan sebuah motif; hal-hal yang mendasari keberanian itu; faktor penyebab atau causa pertama yang menumbuhkan keberanian. ‘Ali telah mengajarkannya pada kita, yaitu iman. Dengannya, kita memiliki daya positif dan kekuatan lain untuk kukuh dalam bertindak. Ia absolut, tegas, juga “menghidupkan”, sehingga ‘Ali ragu-ragu disaat pasukannya berhadap-hadapan dengan kubu Muawiyah di suatu hari ketika pengikut Muawiyah mengacungkan alqur’an tinggi-tinggi sebelum pertempuran pecah, walaupun pengacungan alqur’an itu hanyalah sebuah intrik mematahkan keberanian ‘Ali dan pasukannya.

Ketika kita sampai pada tahap meyakini sesuatu, keberanian itu berkobar dengan sendirinya, apapun bentuk keyakinannya, sehingga keyakinan terhadap sesuatu yang salah sekalipun, mampu menjadi energi yang ajaib untuk menuntun penganutnya pada suatu tindakan. Hitller tidak ragu-ragu membantai ribuan orang yahudi karenanya, Lenin menjadi Dracula haus darah pada suatu musim dingin membeku di Rusia dengan membantai ratusan ribu rakyat tak berdosa hanya karena keyakinannya yang menggebu pada Darwinisme yang menyesatkan.

Pada tahap ini, keberanian bisa menjadi pisau bermata dua dalam sebuah tindakan. Di satu sisi ia menyayat halangan apapun, di sisi lain ia melukai nurani, maka diperlukan sebuah pilar kedua untuk menuntun keberanian tersebut dari sisi gelap kejahatan, yaitu Cinta. Dengan mencintai, keberanian menjadi punya “ruh”, punya kehidupan dan jalan terang untuk memilah. ‘Ali meyakini sebuah kebenaran yang dibawa baginda Rasul, dengannya, ia menjadi berani, dan kecintaannya pada sang Pembawa Risalah itu mencerahkan jalan pengabdiannya.

Banyak hal yang tidak bisa dicapai dengan kebencian dan kedengkian. Sejarah membuktikan itu: Joseph Ghobbell pada akhir hayatnya membunuh keenam anaknya saat tidur dengan suntikan, membantai istrinya dan membakar dirinya sendiri menjadi abu, setelah sepanjang hidupnya, ia mengubah sejarah Jerman lewat propaganda Nazi yang penuh dengan kebencian dan tipuan.

Abu Jahal akhirnya takluk pada nasib, ia mati terhina di peperangan badar dan kuburannya dijadikan WC umum. Boleh jadi kebencian melahirkan banyak kesempatan, tapi sejarah selalu menunjukkan akhir yang pahit: tidak ada kebencian yang mengabadikan kekuasaan dan kesenangan.

Cinta ‘Ali, dalam hal ini, adalah cinta ilahi; cinta spiritual, cinta pada Pemilik Kehidupan, sebagaimana juga telah dilakoni oleh seorang perempuan shufi shalehah sepanjang hidupnya, Rabiatul Adawiyah. Cinta ilahi menghempaskan dengan “keras” apa-apa yang berbau materi dan mengejar sesuatu yang bersifat abadi. Sebagai pribadi yang kompleks, kita tidak dengan sendirinya menjadi bahagia dengan mencoba menaklukkan apa-apa yang dibutuhkan selera kita dan memberinya nama: cinta. Lalu, kesetiaan menjadi pilar penentu sebuah pergulatan dalam kehidupan. Pengkhianat, dimanapaun tidak akan pernah mendapat tempat. Yudas yang mengkhianati yesus dalam perjuangannya akhirnya menemui ajal di tiang salib.

Tiga pilar tersebut yang telah ditegakkan ‘Ali, juga para muhajirin, untuk menempuh perjalanan panjang meninggalkan kampung halaman dan sanak famili mereka, untuk menuju puncak spiritual dan pencarian hakiki, yaitu redha ilahi. Dengan keberanian, mereka mengambil sebuah pilihan dan tindakan paling fantastis: Hijrah. Kecintaan mereka pada panggilan iman dan kesetiaan menahan kerasnya batu ujian, membawa ‘Ali dan seluruh Muhajirin ke tanah harapan yang menjanjikan hari esok dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik dan bermartabat. Selamat tahun baru! (10/12/10, Akhyar Fuadi)

 
LASI Nagaritude | Lasi Tuo | Lasi Mudo | Pasanehan| About Us | Contact Us

Copyright © 2009 jalan kata |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.