Hijrah dan Tiga Pilar

Pada hari senin, 20 September 622 atau 12 Rabiul Awal, dua orang sahabat itu, Nabi yang mulia dan Abu Bakar Asshiddiq, resmi meninggalkan tanah kelahiran mereka, Makkah, pada suatu malam dimana gerombolan pengejar dilenakan oleh Allah dalam buaian mimpi. Keduanya pergi diam-diam setelah sebelumnya para muhajirin beserta sanak famili mereka berangkat duluan. Peristiwa paling bersejarah ini terjadi 13 tahun kemudian dari saat Nabi pertama kali menerima wahyu di Hira’.

Ada kejadian penting dari yang dicatatkan sejarah pada malam itu, yaitu: Keberanian, kecintaan dan kesetiaan seorang ‘Ali Bin Abi Thalib, Karramallahu Wajhah, menggantikan nabi di tempat tidurnya. Saya berandai-andai: andai saja para pembunuh itu tergesa-gesa menamatkan riwayat orang yang tidur di tikar nabi malam itu, maka darah yang pertama tumpah adalah darah ‘Ali, sebagai tumbal atas keberanian, kecintaan dan kesetiaannya.

Di zaman kita, tiga pilar tersebut: Keberanian, Kecintaan dan Kesetiaan mengalami penggerusan yang dalam dihanyutkan pelbagai kepentingan, intrik dan kegombalan. Keberanian menyuarakan sesuatu hari ini tidak terlepas dari sejauh mana embrio-embrio kepentingan bisa ditumbuh-suburkan. Akhirnya, corong apapun yang dipakai sebagai pengeras suara untuk menyuarakan sesuatu, akan mengeluarkan suara sember dan koor ganjil. Disaat pencitraan-pencitraan adalah solusi alternatif untuk membungkus-bungkus sesuatu yang busuk, kita membutuhkan keberanian menebalkan muka untuk bersuara dan juga membutuhkan corong pengeras untuk itu.

‘Ali, dalam sejarah kehidupannya, adalah orang paling zuhud di zamannya. Peristiwa di malam hijrah tersebut menggenapkan bukti Keberanian ‘Ali. Sebuah keberanian yang tidak digombalkan kemana-mana sebagai sebuah laku heroik dan patriotik. Sebagai pribadi yang zuhud, ia, yang telah sampai pada maqam Firaq dalam istlah kitab Hikam, amat jauh dari pencitraan yang digembar-gemborkan.

Sebuah analisa sederhana: Keberanian yang disuarakan bukankah merupakan sisi lain dari ketakutan. Ketakutan untuk tidak didengar dan diperhatikan. Lebih jauh, zaman ini membutuhkan orang-orang berani seperti ‘Ali. Keberanian bertindak dan mengambil sebuah keputusan tepat dalam menghadapi satu situasi tertentu, dan itu disembunyikan rapat-rapat.

Keberanian sebagai dasar berpijak pertama dalam melakukan sebuah tindakan, tentunya memerlukan sebuah motif; hal-hal yang mendasari keberanian itu; faktor penyebab atau causa pertama yang menumbuhkan keberanian. ‘Ali telah mengajarkannya pada kita, yaitu iman. Dengannya, kita memiliki daya positif dan kekuatan lain untuk kukuh dalam bertindak. Ia absolut, tegas, juga “menghidupkan”, sehingga ‘Ali ragu-ragu disaat pasukannya berhadap-hadapan dengan kubu Muawiyah di suatu hari ketika pengikut Muawiyah mengacungkan alqur’an tinggi-tinggi sebelum pertempuran pecah, walaupun pengacungan alqur’an itu hanyalah sebuah intrik mematahkan keberanian ‘Ali dan pasukannya.

Ketika kita sampai pada tahap meyakini sesuatu, keberanian itu berkobar dengan sendirinya, apapun bentuk keyakinannya, sehingga keyakinan terhadap sesuatu yang salah sekalipun, mampu menjadi energi yang ajaib untuk menuntun penganutnya pada suatu tindakan. Hitller tidak ragu-ragu membantai ribuan orang yahudi karenanya, Lenin menjadi Dracula haus darah pada suatu musim dingin membeku di Rusia dengan membantai ratusan ribu rakyat tak berdosa hanya karena keyakinannya yang menggebu pada Darwinisme yang menyesatkan.

Pada tahap ini, keberanian bisa menjadi pisau bermata dua dalam sebuah tindakan. Di satu sisi ia menyayat halangan apapun, di sisi lain ia melukai nurani, maka diperlukan sebuah pilar kedua untuk menuntun keberanian tersebut dari sisi gelap kejahatan, yaitu Cinta. Dengan mencintai, keberanian menjadi punya “ruh”, punya kehidupan dan jalan terang untuk memilah. ‘Ali meyakini sebuah kebenaran yang dibawa baginda Rasul, dengannya, ia menjadi berani, dan kecintaannya pada sang Pembawa Risalah itu mencerahkan jalan pengabdiannya.

Banyak hal yang tidak bisa dicapai dengan kebencian dan kedengkian. Sejarah membuktikan itu: Joseph Ghobbell pada akhir hayatnya membunuh keenam anaknya saat tidur dengan suntikan, membantai istrinya dan membakar dirinya sendiri menjadi abu, setelah sepanjang hidupnya, ia mengubah sejarah Jerman lewat propaganda Nazi yang penuh dengan kebencian dan tipuan.

Abu Jahal akhirnya takluk pada nasib, ia mati terhina di peperangan badar dan kuburannya dijadikan WC umum. Boleh jadi kebencian melahirkan banyak kesempatan, tapi sejarah selalu menunjukkan akhir yang pahit: tidak ada kebencian yang mengabadikan kekuasaan dan kesenangan.

Cinta ‘Ali, dalam hal ini, adalah cinta ilahi; cinta spiritual, cinta pada Pemilik Kehidupan, sebagaimana juga telah dilakoni oleh seorang perempuan shufi shalehah sepanjang hidupnya, Rabiatul Adawiyah. Cinta ilahi menghempaskan dengan “keras” apa-apa yang berbau materi dan mengejar sesuatu yang bersifat abadi. Sebagai pribadi yang kompleks, kita tidak dengan sendirinya menjadi bahagia dengan mencoba menaklukkan apa-apa yang dibutuhkan selera kita dan memberinya nama: cinta. Lalu, kesetiaan menjadi pilar penentu sebuah pergulatan dalam kehidupan. Pengkhianat, dimanapaun tidak akan pernah mendapat tempat. Yudas yang mengkhianati yesus dalam perjuangannya akhirnya menemui ajal di tiang salib.

Tiga pilar tersebut yang telah ditegakkan ‘Ali, juga para muhajirin, untuk menempuh perjalanan panjang meninggalkan kampung halaman dan sanak famili mereka, untuk menuju puncak spiritual dan pencarian hakiki, yaitu redha ilahi. Dengan keberanian, mereka mengambil sebuah pilihan dan tindakan paling fantastis: Hijrah. Kecintaan mereka pada panggilan iman dan kesetiaan menahan kerasnya batu ujian, membawa ‘Ali dan seluruh Muhajirin ke tanah harapan yang menjanjikan hari esok dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik dan bermartabat. Selamat tahun baru! (10/12/10, Akhyar Fuadi)

Telegram dini hari

:mengenang hari jadi

waktu yang melayang ringan dan pelan koma
masih saja meminum usia tersia titik

seperti sebuah telegram, subuh berdenyutan
menggamangi usia menggarami serpih
tiap luka

sesubuh ini, aku masih saja ingin mengaji
setiap bilik diri yang terkunci
seperti sebuah telegram
dengan sebuah pesan, masih saja kutunggui
setiap sunyi yang bersinggahan
di landai masa lalu di tepi
terjal jurang hari esok

apakah setiap darah mesti tumpah koma
untuk mengerami buah luka koma
dan setiap kelahiran memeperdekat subuh berikutnya
pada kematian
pada kematian
titik


Lasi, April 2009

Minta Tolong

April yang basah. Waktu lesap seperti sampah kering yang dibakar. Dua tahun sudah saya mengimpikan sebuah SIM, semenjak April dua tahun silam, persis sewaktu saya pertama kali memiliki sebuah sepeda motor. Bukan sebuah kebetulan di awal April yang gigil ini saya datang ke Kanit Lalu Lintas mengurus sebuah lisensi mengemudi. Sebuah lika-liku keinginan yang panjang seperti sulur tanaman menjalar berbiak kemana-mana, hingga di awal April ini baru bisa terwujudkan.


Mungkin engkau bertanya-tanya, hal apa gerangan yang membuat saya sampai terlambat dua tahun untuk mengurus sebuah SIM saja. Jawabannya sesederhana yang dipikirkan orang-orang yang tidak cukup beruntung dari segi finansial di negeri, mahal! Dua Ratus Lima Belas Ribu Rupiah! Sebuah harga yang tidak cukup terjangkau oleh banyak orang, (termasuk saya. Bukan karena tidak cukup uang untuk itu, tapi lebih karena standar awal yang ditetapkan dalam pengurusan SIM C adalah Rp 75.000,-. Tiba-tiba melonjak menjadi Rp 215.000,-) di negara bekas penjajahan kolonial Belanda yang sampai hari ini masih terjajah oleh kemiskinan secara struktural dan kultural. Kemiskinan yang sudah menjadi sebuah sistim kehidupan dan ketidakberuntungan kultur secara turun-temurun di banyak keluarga, karena ketidakmampuan merobah manajemen hidup yang terus bergerak maju.


Saya, sebagaimana engkau, percaya bahwa benang kusut birokrasi yang sering berbelit-belit tidak karuan, seperti sebuah labirin dengan cabang-cabang yang rumit, membuat banyak orang tidak betah berurusan lewat “jalan depan” prosedur di negara ini. Termasuk saya sendiri.


Tiba-tiba saya merasa berdosa sungguh setelah selembar Surat Izin Mengemudi saya kantongi. Ceritanya begini: Suatu hari saya datang ke Kanit Lalu Lintas di salah satu Polresta. Di loket pembayaran jelas-jelas tertera sejumlah biaya yang mesti dikeluarkan untuk pengurusan SIM gol. C, yaitu untuk pengurusan baru Rp 75.000,- dan untuk perpanjangan Rp 65.000,-. Setelah mendaftar dan membayarkan sejumlah uang yang dimaksud, saya tinggal melalui tahap berikutnya, yaitu tes teori dan praktek yang antriannya bukan main lamanya. Hal ini diperparah oleh sistim pelayanan banyak pintu dari satu loket ke liket lain.

Singkat cerita. Saya lulus ujian teori tapi tidak lulus ujian praktek. Sore datang bersama kelelahan yang memuncak. Saya putus asa sekali, karena setelah menghabiskan waktu seharian, sebuah SIM yang saya idam-idamkan tidak kunjung saya dapatkan, sementara istri saya tercinta yang ikut menemani semenjak pagi mulai ngomel tak karuan.


“Bapak tidak lulus ujian praktek, silakan bawa berkasnya ke Bripka anu” ujar seorang Bripka petugas ujian praktek. Tapi apa lacur, orang-orang yang bernasib sama dengan saya sudah lebih dulu datang ke ruangan Bripka yang dimaksud. Dari balik kaca transparan penyekat ruangan Bripka itu dengan ruang tunggu, saya lihat orang-orang mulai mengangsurkan lembaran uang Lima Puluh dan seratus Ribuan dengan sedikit tersembunyi dan canggung ke petugas itu.


Saya geram bukan main! Marah bukan main! Akhirnya saya hanya duduk diam di ruangan tunggu menunggu entah apa. Istri saya mulai kehilangan kesabaran. “Kasih saja Uang seratus Dua Puluh Ribu lagi sebagaimana yang dilakukan orang-orang itu!” ujarnya sengit. Saya masih tetap diam, sampai akhirnya seorang petugas lain berpangkat Aipda mendatangi ruang tunggu tempat saya duduk yang sudah mulai lengang bersama luruhnya sore yang remang. Saya gamang ketika petugas itu membujuk menawarkan sebuah “bantuan”. Sialan! Petugas yang satu ini rupanya memahami betul situasi saya yang terjepit, lelah dan putus asa. “Apa yang bapak tunggu, bapak kan tidak lulus tes praktek. Bapak datang saja lagi minggu depan untuk melakukan tes ulang, atau kami bisa sedikit membantu agar bapak bisa mendapatkan SIM hari ini, tapi, ya itu…”ujarnya lamat. Saya tamat!


Akhirnya di sore yang mulai gerimis di awal April itu, saya pulang dengan mengantongi sebuah SIM C dengan perasaan tak menentu: merasa bersalah, sedih dan geram! Saya seorang tenaga pengajar di sebuah pondok pesantren, mantan santri pula. Tiba-tiba terngiang dalam kepala saya ucapan salah seorang guru yang paling saya hormati: “Rasulullah bersabda ‘Arraasyi wal murtasyi fin naar”. Maafkan saya duhai Rasulullah, maafkan saya, saya menyesal, saya merasa berdosa betul, karena saya telah ikut membantu menyuburkan sistim percaloan, pungli dan suap-menyuap di negeri yang sudah babak belur ini. Maafkan saya…(April 2010)

melalui proses cukup panjang dan melelahkan, akhirnya, sebuah kumpulan puisi dan cerpen berjudul "Sebilah Sayap Bidadari" telah terbit. Buku ini melibatkan 42 orang penulis di dalamnya. sebuah proses kratif dan kepedulian berpadu-padan. Semoga jadi amal sholeh bagi semua pihak yang terlibat dalam proses penulisan naskah sampai pada penerbitan antologi ini. Antologi ini diterbitkan atas kerjasama Pustaka Fahima dan Jaringan Penulis Indonesia.

Buku ini dapat ditemukan di toko-toko buku seperti GRAMEDIA, TOGA MAS, SOCIAL AGENCY,dan lain-lain . di seluruh Indonesia.

Beberapa catatan perjalanan bersama CMC

sebuah media penyampai informasi tentunya memiliki beberapa persyaratan mutlak, seperti keotentikan informasi yang disampaikan; keberimbangan informasi; keterbebasan informasi dari penjejalan ide reporternya; juga yang tak kalah pentingnya update informasi dan ketajaman serta kejelasan menyampaikan informasi.

Berangkat dari asumsi umum di atas, saya melihat adanya pergerakan serius dari Canduang Media Centre untuk menjadi kiblat informasi di Kecamatan Canduang yang merupakan ruang lingkup pemberitaan CMC. Para "urang Dapua" yang akhir-akhir ini disibukkan oleh bagaimana membenahi media ini secara lebih baik, juga telah berupaya (sejauh ini) saya lihat, untuk mendedahkan reportase apapun seputar Kecamatan Canduang dengan secepat, setepat dan seakurat mungkin.

Camat Canduang sendiri, Monisfar S.Sos, akhir-akhir ini, sibuk berkasak-kusuk kesana-kemari, menginformasikan sejauh mana perjalanan media nirlaba ini. Seorang Founding Father yang baik tentunya seperti itu, tidak hanya menggadang-gadang telah menemukan sesuatu, lantas membiarkannya terbengkalai menjadi sebuiah proyek mercusuar dan menara gading yang semakin tinggi dan tak terdaki. Saya betul-betul terperanjat kagum dengan sang Fonding Father yang satu ini, seorang mantan jurnalis yang sampai hari ini masih belum kehilangan taring sebagai seorang jurnalis dan berusaha mengejawantahkannya pada Canduang Media Centre yang hari ini dibangun dengan semangat kebersamaan dan peduli kampung halaman.

Alih-alih, Camat Canduang yang notabene bukan putra Canduang, tapi mempunyai spirit yang luar biasa membangun Canduang dengan berbagai cara, salah satunya lewat media pemberitaan ini, tentunya ruang pemahaman kita tentang seorang jurnalis, reporter atau apalah namanya,akan semakin diperkaya oleh sebuah kenyataan yang mencengangkan ini: pengabdian dan panggilan jwa seorang jurnalis. Bayangkan!

Kembali kepada asumsi media penyampai informasi di atas, saya juga sangat sepakat kalau para "urang dapua" lebih kritis lagi, lebih korektif lagi dalam menyajikan reportase, berarti para "urang dapua" mesti berbenah lagi dengan lebih "serius", semenjak dari memilih bahan berita, memperbanyak ragam berita, menganalisis berita yang bakal digelontorkan, dan mengoreksi ulang setiap detil kata dan kalimat yang bakal dipublish dan dikonsumsi publik.

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat "jatah" sebuah baju seragam "urang dapua" CMC yang sangat eksklusif dan elegan. Saya girang bukan main, bangga bukan main dan "ongeh" bukan main. Kemana-mana baju itu saya "palanggak-langgak"kan ("tak gendong kemana-mana" versi Mbah Surip alm.), tapi apa lacur, akhir-akhir ini saya sadar juga, bahwa seragam CMC secara teoritis-historis adalah sebuah bentuk kerja keras, sebuah pengabdian setulus hati, sebuah kejujuran dan kerendahan jiwa untuk "berkata", juga sebuah kerelaan memberi tanpa memandang kembali ( karena dari berbagai sumber saya mendapatkan informasi bahwa baju seragam tersebut dibeli oleh Camat Canduang dengan merogoh koceknya sendiri dan baju dengan disain eksklusif itu saya dapatkan "perai" alias gratis). Tentang baju itu, saya akhirnya betul-betul tafakur, termenung lama sekali. Ada tugas sangat berat di pundak untuk betul-betul serius membenahi CMC, tanpa pamrih, tanpa "ongeh" dan tanpa "mampalanggak-langgak"kan.

Disamping beberapa hal yang telah saya sebutkan di atas, masih terdapat beberapa hal menggelitik dari CMC yang masih sangat muda ini, diantaranya: Web Hosting yang dipergunakan masih "numpang" di blogger (walaupun domainnya sudah "dibelikan" oleh salah seorang dermawan beberapa waktu lalu). Pernah juga disain dan template CMC dikritik habis-habisan karena mengganggu pandangan di sana-sini, fontnya yang tidak bersahabat dengan mata dan lain sebagainya. Masukan bagus nya dari kritikan salah seorang perantau canduang dan kini berdomisili di Pekanbaru sebagai seorang dosen pemrograman web ini kepada "urang dapua" adalah, jadikan CMCini menjadi sebuah web profesional dengan dilengkapi data base memadai serta mempergunakan bahasa pemrograman utuh untuk merancang disain serta tampilan CMC agar lebih baik dan menarik.

Soft opening pada tanggal 08 Maret besok sudah semakin dekat. Mudah-mudahan catatan singkat ini mampu menjadi stimulus yang sehat buat seluruh "urang dapua",Founding Father, simpatisan, pengunjung,dermawan, kontributor dan seluruh perantau Canduang yang sempat "singgah" di web CMCini, bahwa ada yang lebih agung untuk diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, seserius mungkin dan sepenuh pengabdian serta cinta kampung halaman, yaitu keseriusan menyumbangkan apapun yang bisa kita sumbangkan sebagai bukti kita ada dan hadir sebagai seorang pencinta tanah tapian. Salam!

Tentang seorang ayah yang terlalu susah mewartakan pengertian tentang betapa jauh jalan ke Roma

“Betapa jauh jalan ke Roma, walau tak satu, nak”, ujar seorang ayah
kepada seorang anak tentang pelayaran dan pelarian, juga tentang ingin menuntas
setiap dinding karang oleh degup lautan. “aku tak mengerti, yah, tentang Roma, tentang kartu pos bergambar keinginan, juga tentang kemarau yang parau
memberati pundak, karena sepanjang gulungan udara, suhuf-suhuf waktu makin mengaduhkan gores pedih nasib-nasib”

seorang ayah masygul diteruka garis jauh kenangan, tentang peperangan yang telah usai, tentang Roma dan banyak jalan bersimpang yang ia lewati ke sana, juga tentang
uban yang meraja-lela di batas musim tuanya, sementara seorang anak masih sibuk memainkan, mobil-mobilan, kereta-keretaan...

“dengan mobilku ini, aku akan sampai ke roma, yah, atau dengan perahu kertas yang pernah ayah bikinkan, karena terlalu susah menjadi tua nanti tanpa melewati barisan
kenangan, tanpa sampai ke roma yang punya banyak jalan”. Seorang ayah itu
tambah masygul dengan garis-garis ketuaan semakin menggurat negeri
yang dikaramkan di matanya, lantas ia teringat kembali masa mudanya, tentang
perahu kertas dan juga Roma yang sering diceritakan ayahnya...

betapa lelah menjadi kenangan, menjadi sisa perang, dan menjadi gelandangan
di tengah negerinya sendiri yang bernama keinginan, juga betapa lelah memberi
pengertian tentang betapa susahnya, melayarkan perahu kertas, menumpangi
mobil-mobilan untuk sampai ke Roma, melalui banyak simpang, banyak perang dan
hujan keraguan

anak itu masih asyik dengan mobil-mobilannya, ketika ayahnya berkata,
“naiklah ke mobil-mobilanmu, nak, karena keinginanku akan mengantarmu
ke Roma yang jauh, melalui banyak simpang, melalui banyak jalan yang pernah dipetakan kenangan”


Lasi, Januari 2010

Aku telah kembali dari kata

"Aku telah kembali dari kata"
Katamu mengabarkan buih sajakmu yang perih
"kembalilah untuk sekedar menfatwakan letih"
Ujarku lirih, karena langit masih menyimpan hujan
yang bertubi mengurung kita dihari-hari kemaren
membanjiri rumah tempat kita menggigil diranjang sudut kamar
Mengenangkan retak tanah kemarau sebagai bualan
dua orang yang bemimpi melayari lautan
saat air makin meninggi mencumbui kaki-kaki ranjang itu

Ashhabul Yamin, Februari 2009

Tamu

Sebuah cerita Buat seorang sahabat yang aku lupa mengucap selamat di hari ulang tahunnya : Raudhah

Engkau yang datang malam-malam dan mengetuk pintu
Seperti seorang pencuri,bertamu diam-diam khawatir diteriaki tetangga
lalu pintu kubukakan jua setelah sejenak basa-basi bertegur sapa
“ maumu apa, setelah sekian lama menjadi tamu mengetuki setiap pintu?”
Tanyaku ringkas saja tanpa ba-bi-bu dan retorika

“ carikan aku baju yang pernah kau pinjamkan pada
bulan pucat yang kupandangi tiap malam” jawabmu sederhana pula
“ carilah dikuburan terdekat, ditempat orang-orang mati yang tak mampu
mencari arti sepi semasa hidupnya” ujarku ragu, tanpa tahu kenapa
aku merasa pasti engkau bakal mendapatkannya

sebuah baju yang masih itu-itu saja kau minta: gaun cahaya keperakan
berenda kesunyian malam dan dingin yang telanjang, lalu engkau pun
pergi sesenyap kepak burung hantu dan aku masih termangu ditertawai
sisa cahaya purnama berserakan dihalaman dan dibalik dedaunan

malam-malam berikutnya engkau kembali datang menagih
ringkih cahaya bulan yang dulu kusajakkan pengantar lamun
dan halimun malam yang turun di dinihari yang sangsi
“carikan aku gaun untuk mempercantik kesunyianku pak”

Pintamu lagi setengah mengiba, seperti sisa purnama di sepertiga
malam-malam pertaubatan yang dulu pernah kubayangkan untukmu:
kita akan melihat wajah tuhan yang damai bersama dingin
dan angin yang mengusik tetangga mempertebal selimutnya

“berikan aku kesunyian itu pak, bersama bulan yang kau berikan
gaun sepi dalam puisi-puisi lirihmu”. Engkau masih berkeras meminta
sesuatu yang aku pun tak tahu seberapa pasti aku pernah bertahun-tahun
bertamu ke dalam dirimu dan diri setiap orang sebagai pengelana sunyi

sampai akhirnya aku sedikit mengerti, bahwa pilihan kesunyian, adalah
tepi sunyi yang letih dari semacam histeria malam pada gulitanya, bulan
pada cahayanya, engkaupun kukira begitu: diam-diam sasar menjadi tamu
dan mengetuki berjuta pintu yang tak mau membuka, karena engkaupun tak lebih

hanyalah kesunyian yang memberi warna pada kesunyian serupa
di dalam rumah setiap pintu yang pernah kau ketuki sebagai tamu
Lalu pada malam penghabisan, engkau kembali datang sebagai tuan rumah
yang menunggu dibalik pintu setelah selesai menyajakkan tentang seorang

tamu yang pernah membukakakan pintu pada malam-malam engkau bertandang
sebagai tamu, seseorang yang menyajakkan cahaya bulan bersama gaun sepi
di puisi-puisi lirihnya, seseorang yang kau panggil “pak”
dan kini ia datang diam-diam sebagai tamu dan menangis dibalik pintu


Lasi, Mei 2009

Rumah Airmata

Apa yang kau ketahui dari airmata
yang jatuh bergaram di sudut gelap kamarmu?
selain nista atas ketidakberdayaanmu meneruka
jalan keakuan, jalan ketakutan!?

maka tak kunjung kupahami
bau airmata tersia di dasar sunyi
ketika sepanjang jalan, rumah-rumah
terbakar di matamu

Apa yang kau ketahui dari sebuah rumah?
selain sesudut kamar yang kau sulut
kesendirian terlunta menghapal usia
dan tanggal-tanggal tak bergerak dari angka-angka!?

maka tak kunjung kupahami pagi
yang retas dan gegas: sisa semalam
pertaruhannmu dengan buku-buku nasib
yang terus dicatat! terus diburu ke simpang-simpang
lengang, ke senja-senja lekang

seperti gadis-gadis berselendang tangis
menagih bujang-bujang, bayang-bayang
sekalung kenang dan hingar waktu yang mengelupas

kapan kau tasbihkan luka yang entah
kau pahami sebagai sebuah rumah
tempat kau kamarkan duka dan seranjang airmata!?

TUHAN TELAH MEMILIHMU MENJADI HAWA

Tuhan telah memilihmu menjadi Hawa
udara yang memenuhi rongga
segenap rindu manusia pertama
sebagai bilah kepedihan menusuk dalam
rindu dendam di jantung Qabil
ketika darah pertama ia tumpahkan
atas nama ingin merupa dingin pisau
menelanjangi hasrat paling risau
cinta dan bara
seperti angan dan ingin Zulaikha
seperti Laila memajnunkan seorang perjaka

Tuhan telah memilihmu menjadi Hawa:
makhluk yang digelegakkan surga kesepian
di dada Adam
di dada malam yang merindukan
sesabit remang rembulan

Tuhan telah memilihmu menjadi Hawa
setelah menyihirku dengan berjuta pesona
engkau masih merupa Hawa: udara yang purba
dan tak kunjung kukenal sepanjang sisa
usia


Parai, 18 November 2009

Lanun

Ingin kukhianati setiap badai kenangan yang menerbangkan
rupamu ke sini, ke ruang renung yang limbung tempat kugantung
segala sayup raung, o, kekasihku yang jauh di balik teluk, di tengah
rerimba yang makin melubukkan sakit hati pada poros hari

karena rupamu telah bopeng dimakan musim perceraian kita
tapi aku masih cinta, o, kekasihku yang jauh, dengan segenap
peluh, segenap keluh kuandaikan jaring laba-laba yang rapuh
memerangkap subuh yang selalu kita sulukkan tiap hari

maka perjamuan terakhir yang kupersembahkan untukmu
kutandai dengan segala bisik sendu, setelah ini
masing-masing rumpun kita akan layu dituba usia dusta:
usia cerai kita yang semakin mengukuhkan engkau ada

dan selalu saja wajahku retak tak berdaya
memahami senyum memahat usang wajahmu di belantara
hatiku yang kian rimbun menyamun segala lamun
dan hatiku tiba-tiba menjelma lanun kehilangan kapal

kelasi dan angin di buritan
sebab aku telah terlalu tua untuk kembali merompakmu
dan mengajakmu berlayar, karena perceraian kita telah merobek peta
dan kelana di sebuah sudut teluk yang hilang nama



Lasi, Desember 2009

Selalu Saja Luka Yang Sama, Kekasih

selamat jalan, telah kukirim aroma
rumput Bukit Pusaran angin
(waktu itu urung kita kunjungi)
sore ini aku kesana lagi
kulihat nisan cinta kita terpatri sunyi
seperti senja yang pasi berangkat mati

di ruang sore yang sama
wajahmu samar seperti kolase pelangi
yang pudar menyisakan ruang lengang
diantar serpih pedih kepergian
selamat jalan

di ruang sore yang sama kekasih
aku telah mengkristal ingin tak tertampin
ke dermagamu kekasih,ke dadamu
yang selalu menyajakkan semu di perih rinduku

di ruang sore yang sama
telah kupuisikan batu usia perjumpaan kita
pada tahun-tahun yang purba dalam kata
maka di ruang sore yang sama kekasih

selalu saja luka yang sama
untuk cinta yang masih menanam tuba
seperti puisi yang kureguk dalam mabuk
mengutuki setiap warna
yang kau sketsakan memenuhi ruang usia
pada setiap kembara

Jika

jika kata menagih ingin sebagai rambu
penyair dan diksi bertatap-temu
sudahkah kata-katamu
menagih keakuanku?
 
LASI Nagaritude | Lasi Tuo | Lasi Mudo | Pasanehan| About Us | Contact Us

Copyright © 2009 jalan kata |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.