Sebuah cerita Buat seorang sahabat yang aku lupa mengucap selamat di hari ulang tahunnya : Raudhah
Engkau yang datang malam-malam dan mengetuk pintu
Seperti seorang pencuri,bertamu diam-diam khawatir diteriaki tetangga
lalu pintu kubukakan jua setelah sejenak basa-basi bertegur sapa
“ maumu apa, setelah sekian lama menjadi tamu mengetuki setiap pintu?”
Tanyaku ringkas saja tanpa ba-bi-bu dan retorika
“ carikan aku baju yang pernah kau pinjamkan pada
bulan pucat yang kupandangi tiap malam” jawabmu sederhana pula
“ carilah dikuburan terdekat, ditempat orang-orang mati yang tak mampu
mencari arti sepi semasa hidupnya” ujarku ragu, tanpa tahu kenapa
aku merasa pasti engkau bakal mendapatkannya
sebuah baju yang masih itu-itu saja kau minta: gaun cahaya keperakan
berenda kesunyian malam dan dingin yang telanjang, lalu engkau pun
pergi sesenyap kepak burung hantu dan aku masih termangu ditertawai
sisa cahaya purnama berserakan dihalaman dan dibalik dedaunan
malam-malam berikutnya engkau kembali datang menagih
ringkih cahaya bulan yang dulu kusajakkan pengantar lamun
dan halimun malam yang turun di dinihari yang sangsi
“carikan aku gaun untuk mempercantik kesunyianku pak”
Pintamu lagi setengah mengiba, seperti sisa purnama di sepertiga
malam-malam pertaubatan yang dulu pernah kubayangkan untukmu:
kita akan melihat wajah tuhan yang damai bersama dingin
dan angin yang mengusik tetangga mempertebal selimutnya
“berikan aku kesunyian itu pak, bersama bulan yang kau berikan
gaun sepi dalam puisi-puisi lirihmu”. Engkau masih berkeras meminta
sesuatu yang aku pun tak tahu seberapa pasti aku pernah bertahun-tahun
bertamu ke dalam dirimu dan diri setiap orang sebagai pengelana sunyi
sampai akhirnya aku sedikit mengerti, bahwa pilihan kesunyian, adalah
tepi sunyi yang letih dari semacam histeria malam pada gulitanya, bulan
pada cahayanya, engkaupun kukira begitu: diam-diam sasar menjadi tamu
dan mengetuki berjuta pintu yang tak mau membuka, karena engkaupun tak lebih
hanyalah kesunyian yang memberi warna pada kesunyian serupa
di dalam rumah setiap pintu yang pernah kau ketuki sebagai tamu
Lalu pada malam penghabisan, engkau kembali datang sebagai tuan rumah
yang menunggu dibalik pintu setelah selesai menyajakkan tentang seorang
tamu yang pernah membukakakan pintu pada malam-malam engkau bertandang
sebagai tamu, seseorang yang menyajakkan cahaya bulan bersama gaun sepi
di puisi-puisi lirihnya, seseorang yang kau panggil “pak”
dan kini ia datang diam-diam sebagai tamu dan menangis dibalik pintu
Lasi, Mei 2009
0 komentar:
Posting Komentar