“Betapa jauh jalan ke Roma, walau tak satu, nak”, ujar seorang ayah
kepada seorang anak tentang pelayaran dan pelarian, juga tentang ingin menuntas
setiap dinding karang oleh degup lautan. “aku tak mengerti, yah, tentang Roma, tentang kartu pos bergambar keinginan, juga tentang kemarau yang parau
memberati pundak, karena sepanjang gulungan udara, suhuf-suhuf waktu makin mengaduhkan gores pedih nasib-nasib”
seorang ayah masygul diteruka garis jauh kenangan, tentang peperangan yang telah usai, tentang Roma dan banyak jalan bersimpang yang ia lewati ke sana, juga tentang
uban yang meraja-lela di batas musim tuanya, sementara seorang anak masih sibuk memainkan, mobil-mobilan, kereta-keretaan...
“dengan mobilku ini, aku akan sampai ke roma, yah, atau dengan perahu kertas yang pernah ayah bikinkan, karena terlalu susah menjadi tua nanti tanpa melewati barisan
kenangan, tanpa sampai ke roma yang punya banyak jalan”. Seorang ayah itu
tambah masygul dengan garis-garis ketuaan semakin menggurat negeri
yang dikaramkan di matanya, lantas ia teringat kembali masa mudanya, tentang
perahu kertas dan juga Roma yang sering diceritakan ayahnya...
betapa lelah menjadi kenangan, menjadi sisa perang, dan menjadi gelandangan
di tengah negerinya sendiri yang bernama keinginan, juga betapa lelah memberi
pengertian tentang betapa susahnya, melayarkan perahu kertas, menumpangi
mobil-mobilan untuk sampai ke Roma, melalui banyak simpang, banyak perang dan
hujan keraguan
anak itu masih asyik dengan mobil-mobilannya, ketika ayahnya berkata,
“naiklah ke mobil-mobilanmu, nak, karena keinginanku akan mengantarmu
ke Roma yang jauh, melalui banyak simpang, melalui banyak jalan yang pernah dipetakan kenangan”
Lasi, Januari 2010
Tentang seorang ayah yang terlalu susah mewartakan pengertian tentang betapa jauh jalan ke Roma
Diposting oleh
akhyar
on Senin, 25 Januari 2010
Label:
my poetry
0 komentar:
Posting Komentar